Manusia diciptakan oleh Allah ﷻ ke muka bumi dan akan kembali kepada-Nya. Hal ini termaktub dalam firman Allah ﷻ surat Al-Baqarah ayat 29: هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا artinya: “Dia (Allah ﷻ) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untuk kalian ...”.
Kembalinya
manusia kepada Allah ﷻ dapat
berupa kebaikan atau keburukan. Kembalinya manusia yang baik adalah ketika kita
kembali sesuai dengan tuntunan Allah ﷻ. Jalan kembali yang baik itu dapat dilalui dengan jalan ibadah,
yakni melaksanakan perintah Allah ﷻ berupa perbuatan dzohir, seperti shalat dan puasa; dan juga
berupa perilaku batin atau sifat-sifat hati.
Jalan
kembali yang baik kepada Allah ﷻ memiliki beberapa tahapan. Ulama’ tasawuf berpendapat terkait
tahapan-tahapan tersebut, yakni dimulai dengan ilmu dan kesadaran, dilanjut taubah, kemudian wara’ dan zuhud, dan
sebagai suatu usaha maka ada roja’
(harapan), kemudian juga ada khauf
dalam beramal.
Ada
dua sikap yang perlu diamalkan untuk keberhasilan ibadah sebagai perjalanan
menuju Allah ﷻ. Dua
sikap ini merupakan perintah Allah ﷻ, dan keduanya saling berpasangan, yaitu “sabar dan syukur”.
Pengamalan ini merupakan perjalanan lanjut dan hampir sampai pada tujuan.
Sekalipun orang yang mengamalkan hal itu belum meninggal – sebab ‘kematian’
adalah bentuk kembali pada Allah ﷻ. Tentu perjalanan orang itu belum selesai, tapi sebagai tangga
atau tahapan, ia sudah termasuk pada tahapan yang tinggi.
Hakikat Kesabaran
Orang
seringkali memaknai sabar secara sederhana. Dalam bahasa Arab, kesabaran
biasanya disebut dengan dua istilah, yaitu صَبْرٌ (shabrun) dan حلم (hilm). Hilm sering dimaknai “tidak mudah marah” (sabar) atau
terkadang dimaknai sebagai “santun”. Misalnya, ketika kita diganggu orang,
namun kita tidak membalasnya. Ini adalah bentuk sabar, begitu juga disebut
sebagai “hilm”. Oleh karena itu Allah ﷻ disebut Al-Halim, Dzat yang Maha Halim. Artinya tidak segera
menindak atau mengazab.
Sabar
itu bukan lemah atau ketidakberdayaan. Menurut orang Kristen, katanya ada
ajaran Nabi Isa tentang kesabaran, yaitu “jika kamu ditempeleng pipi kananmu
maka berikanlah pipi kirimu”. Sebetulnya, hal seperti itu bukan bentuk
kesabaran, akan tetapi bentuk kelemahan. Hal ini sama seperti ketika hak kita
dilanggar, barang kita diambil oleh perampok misalnya, lalu kita diam saja,
bahkan kita merelakan barang kita untuk diambil. Ini adalah bentuk kelemahan,
bukan kesabaran.
Orang
sabar bukan berarti orang yang tidak bisa marah atau pemarah. Orang sabar tetap
bisa marah, tapi dapat mengendalikan kemarahannya. Contoh yang paling jelas
adalah Nabi Muhammad ﷺ, beliau
bukan tidak marah ketika melihat sesuatu yang tidak disukainya, ketika itu
wajah beliau me-merah padam, tapi beliau tidak sampai memaki orang atau hal
yang tidak disukainya, apalagi melakukan kekerasan fisik kepadanya.
Maka
dengan itu, hakikat kesabaran adalah kemampuan untuk mengendalikan diri kita
(nafsu) terutama ketika bergejolaknya emosi. Dalam suatu hadits dikatakan: لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ, hadits
tersebut menjelaskan bahwa orang kuat itu bukan suro’ah (pegulat yang bisa merobohkan lawan tandingnya), akan
tetapi orang kuat sesungguhnya adalah orang yang bisa menguasai dan
mengendalikan nafsunya ketika marah/emosi.
Emosi
sendiri terbagi menjadi dua garis besar. Pertama adalah emosi dalam bentuk
ketidaksukaan atau kebencian. Kemudian yang kedua adalah emosi atau perasaan
dalam bentuk kesenangan. Seperti mencintai seseorang, cinta adalah perasaan,
sama halnya dengan kebencian. Manusia dengan nafsunya memiliki dua hal itu yang
terkadang mencintai sesuatu dan terkadang pula membenci sesuatu. Saat kita
mencintai sesuatu, pasti kita menginginkan bahkan berusaha untuk mendapatkan
sesuatu itu. Begitu juga sebaliknya, ketika kita benci sesuatu, maka kita ingin
menjauhi bahkan menghabisi sesuatu itu.
Perasaan
tersebut adalah manusiawi, terdapat pada siapapun. Namun yang terpenting adalah
bagaimana kita mengelola dan mengendalikan perasaan suka dan tidak suka itu,
agar kita tidak terjerumus pada suatu pelanggaran.
Kesabaran
termasuk pada "hal". Sebagian ulama membedakan antara ahwal dan
maqam, sebagian yang lain menganggap sama saja. Hal yang membedakan adalah
kalau maqam itu bisa direncanakan, artinya masih dalam kendali kita. Seperti
misalnya melaksanakan kewajiban shalat. Sedangkan “hal” adalah suatu keadaan
yang terjadi pada diri kita tanpa bisa kita kendalikan, seperti marah atau
emosi. Di sisi lain, kesabaran bisa disebut sebagai maqam karena suatu
tingkatan atau pencapaian di dalam olah batin.
Motif-motif Kesabaran
Kesabaran
sendiri memiliki berbagai motif. Beberapa di antaranya adalah motif yang
didasarkan pada nafsu. Seperti misalnya ketika kita dihina oleh orang kuat,
kita memilih diam saja karena kita takut pada dirinya yang kuat, padahal
andaikan kita berani, maka kita mampu untuk membalasnya.
Ada
juga kesabaran dengan motif duniawi. Seperti momentum menjelang Pemilu, banyak
orang tiba-tiba menjadi dermawan berdatangan ke desa-desa pelosok untuk
memberikan sumbangan pada pembangunan masjid, sosial, dan sebagainya. Namun
saat Pemilu usai, orang itu tidak berkunjung lagi, barangkali mungkin sibuk
dengan tugas-tugasnya. Namun apabila ia melakukan sesuatu karena Allah ﷻ, biasanya tidak
musim-musiman. Artinya, kapanpun dan dimanapun orang dermawan itu tetap saja
akan memberi.
Selanjutnya
ada kesabaran yang bermotif ibadah, yaitu sabar untuk menjalankan perintah
Allah ﷻ.
Seperti Nabi Muhammad ﷺ saat
berdakwah kepada masyarakat Mekkah di masa itu, dakwah beliau bertujuan baik,
yaitu melaksanakan perintah Allah ﷻ dan sebagai bentuk kasih sayang rasul kepada mereka. Namun di
tengah dakwahnya, rasul tak sedikit ditentang bahkan diancam oleh penduduk
Mekkah yang menolak. Meski demikian rasul tetap melanjutkan dakwahnya dengan
sabar.
Sebagai
manusia, motif-motif tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti
kondisi internal keluarga, lingkungan masyarakat, atau alam sekitar. Salah
satunya contoh pengaruh lingkungan alam sekitar, yaitu orang yang hidup di
daerah pesisir pantai. Orang tersebut cenderung keras karena alam pesisir yang
menuntutnya untuk keras, seperti kerja ke laut. Maka apabila ada orang pesisir
berbicara dengan lantang, itu bukan marah, namun sudah biasa. Berbeda lagi
orang pegunungan yang biasa hidup dengan alam tenang, biasanya orang pegunungan
lebih kalem. Hal-hal itu tidak menutup kemungkinan juga dapat terjadi pada
pengaruh kondisi internal keluarga dan masyarakat terhadap motif-motif
kesabaran.
Akan
tetapi, bagi orang yang sudah beragama dengan ilmu, maka pengaruh motif-motif
kesabaran tersebut dapat dikendalikan dengan ilmu agamanya.
Macam dan Tingkatan Kesabaran
Ada
tiga macam tingkat kesabaran. Ulama tasawuf berpendapat bahwa yang pertama
adalah sabar menghadapi musibah. Tingkatan ini adalah tingkat yang paling
rendah dari ketiga tingkatan itu. Sebab musibah datang dari luar rencana kita
dan dapat menimpa siapa saja tanpa memandang bulu, baik yang kaya atau miskin.
Sabar dalam menghadapi musibah ini harus dengan motif yang berdasarkan pada
Allah ﷻ, karena
ada juga sabar menghadapi musibah atas dasar motif nafsu, yaitu tidak berdaya
dalam menghadapi musibah.
Macam
kesabaran yang kedua adalah sabar dalam menjalankan tugas, kewajiban, dan
perintah Allah ﷻ. Sabar
ini memiliki tingkatan yang lebih tinggi ketimbang sabar menghadapi musibah.
Karena tidak semua orang mampu melaksanakan perintah itu, bahkan kebanyakan
dari kita tidak melaksanakan perintah-perintah Allah ﷻ. Padahal tidak berat, seperti shalat Subuh
yang hanya dua rakaat, tapi rasanya seperti memikul beban satu kwintal untuk
mengerjakannya. Hal itu disebabkan karena berlawanan dengan keinginan nafsu,
sedangkan kita belum bisa melawan atau mengendalikan nafsu itu. Artinya kita
masih belum menganggap shalat sebagai kebutuhan apalagi kesenangan, melainkan
menganggap sholat sebagai beban.
Kemudian,
kesabaran yang ketiga adalah sabar menjauhi larangan Allah ﷻ. Kesabaran ini, menurut Imam
al-Ghazali, adalah tingkat yang tertinggi. Sebab, larangan ini adalah
kesenangan bagi nafsu, dan orang yang sudah terlanjur senang itu sulit dicegah.
Oleh karena itu, sabar yang ketiga ini hanya dapat dilalui oleh orang yang
betul bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah ﷻ.
Untuk
menghadapi ketiganya, kita harus bersabar. Tentu bersabar itu dengan motif
untuk menjalankan perintah Allah ﷻ, bukan karena sesuatu yang bersifat duniawi. Sabar yang
dilakukan karena Allah ﷻ pasti
disertai oleh dzikir.
Melatih Diri, Mencapai Kesabaran
Kesabaran
bisa bernilai ibadah apabila dimotivasi oleh perintah Allah ﷻ. Dengan itu, perlu kuatnya
iman dan menancapnya iman menjadi takwa. Sebab, iman sebetulnya bukan hanya
percaya. Iman adalah percaya dan patuh. Sebagaimana kata As Sayyid As Syaikh
Husain Afandi al Jisr at Torobalisi pengarang kitab Husunul Hamidiyah (tauhid),
bahwa iman adalah mempercayai kepada apa yang disampaikan oleh Nabi ﷺ dari Allah ﷻ kepada kita, lalu kita
mempercayainya bahwa itu benar yang disertai dengan ketundukan. Jadi kalau
hanya percaya namun tidak tunduk, itu belum dikatakan iman.
Untuk
mengendalikan nafsu, tidak cukup hanya dengan ilmu dan kesadaran. Tapi juga
harus disertai dengan latihan (riyadhoh).
Latihan itu berupa pengendalian diri yang dimulai dari hal kecil, seperti makan
ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang. Hal ini juga dapat dilakukan dengan
berpuasa, sebab target puasa bukan hanya tidak makan dan minum, akan tetapi
juga tidak melakukan hal yang dilarang oleh Allah ﷻ. Puasa pun harus dilakukan dengan benar,
apabila puasa dilakukan dengan cara yang tidak benar malah justru akan semakin
meningkatkan nafsu. Seperti balas dendam makan banyak ketika berbuka puasa.
Pahala
kesabaran itu tidak ada hitungannya. Sebagaimana yang terdapat dalam Qur’an
Surat Az-Zumar ayat 10: إِنَّمَا يُوَفَّى
ٱلصَّٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ artinya:
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka
tanpa batas.”
Kesimpulan
Hakikat
sabar adalah kemampuan mengendalikan diri kita. Motif yang benar dalam bersabar
adalah mendasarkan sabar untuk menjalankan perintah Allah ﷻ semata. Sabar itu bukan
hanya menghadapi musibah, tapi juga sabar dalam melaksanakan tugas dan
kewajiban, terutama sabar dalam menjauhi hal-hal yang disukai nafsu. Untuk
mencapai kesabaran itu harus didasari oleh kesadaran tentang makna hikmah
kesabaran. Namun hal itu tidak cukup hanya diraih dengan kesadaran dan
pengetahuan, akan tetapi juga harus melalui latihan kesabaran yang dimulai dari
hal-hal kecil.
Wallahualam bissawab.
*) Artikel
ini merupakan hasil catatan Kuliah Tasawuf ke-9 tentang “Mengenal Maqomat dan
Ahwal” yang diampu oleh Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid KH. Moh. Zuhri
Zaini di Musala Riyadlus Shalihin pada Kamis (30/05/24) yang diadakan oleh
Lembaga Pembinaan Pondok Mahasiswa Universitas Nurul Jadid Paiton. Mohon maaf
apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam artikel ini yang datangnya dari
penulis semata, sebagaimana semua kebenaran dalam artikel ini adalah milik
Allah ﷻ.
Oleh: Ahmad Zainul
Khofi, Humas PP. Nurul Jadid Paiton
Probolinggo
0 komentar:
Posting Komentar